Jumat, 26 November 2010

Naskah Surau Paseban dalam Kajian Literatur

Oleh : Ahmad Taufik Hidayat  

Penelitian mengenai tardisi sosial intelektual Islam di Koto Tangah masih belum banyak dibicarakan. Sejumlah kepustakaan hanya menyinggung sepintas lalu mengenai Surau Paseban, Syekh Paseban maupun manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan Surau ini. Penelitian semacam ini umumnya diletakkan dalam kerangka kajian sejarah yang lebih besar, dinamika Islam di Minangkabau. Penelitian penting yang bersinggungan dengan masalah ini adalah  disertasi Oman Fathurahman yang berjudul Tarikat Syattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat, tahun 2003 pada Universitas Indonesia. Pelacakan sumber-sumber tertulis yang lahir dari kultur tarekat Syattariyah di Sumatera Barat secara tidak langsung membuka ruang pembicaraan yang berkenaan dengan Surau Paseban sebagai mata rantai dari kesinambungan tarekat ini di wilayah Sumatera Barat. Kesimpulan-kesimpulan yang dilahirkan dalam disertasi Fathurahman dalam persoalan ini jelas sangat membantu ketersediaan data mengenai kesinambungan dan referensi yang lebih awal tentang sumber-sumber yang terdapat di Surau itu.  

Kelompok Kajian Puitika Unand pada tahun 2006 telah melakukan penelitian terhadap sejumlah koleksi manuskrip di Minangkabau, dan di antaranya memuat daftar koleksi manuskrip yang terdapat di Surau Paseban maupun Manuskrip yang ditulis oleh murid Syekh Paseban, Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Sebagaimana sifat dari buku katalog, penelitian yang disponsori oleh C-Dats Tokyo ini menghasilkan penjelasan deksriptif terhadap fisik manuskrip dan informasi ringkas mengenai keberadaan maupun kepemilikannya. Sebagian besar pendataan yang dilakukan oleh M. Yusuf dan kawan-kawan terhadap 2 koleksi manuskrip yang berkaitan dengan objek penelitian jelas bersinggungan dengan disertasi ini. Tetapi dari segi pemanfaatannya sebagai objek penelitian, jelas berbeda dengan disertasi ini. Selain itu, penulis merasa perlu melakukan kritik dan pendataan ulang karena sejumlah informasi yang ditulis sebelumnya oleh M. Yusuf dkk. Banyak yang keliru, terutama dari aspek identifikasi judul dan isi atau kandungan manuskrip. 

Penelitian Pramono pada tahun yang sama tentang kiprah kepenulisan Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, murid Syekh Paseban, juga bersinggungan dengan disertasi ini. Tetapi bagan penelitian mengenai tradisi kepenulisan kitab yang dirancang Pramono berkisar pada person komunitas Surau Paseban, dan tidak menjelaskan aspek-aspek yang berkaitan dengan dinamika tradisi sosial intelektual di Koto Tangah secara komprehensif. Pembahasan ke arah itu hanya diletakkan sebagai latar belakang ketokohan murid dari Syekh Paseban. Masih dalam alur yang sama, pada tahun 2007 sebuah laporan penelitian muncul kembali di lingkungan Universitas Andalas. Yerri Satria Putra dan M. Yusuf, mengadakan penelitian Filologi tentang naskah biografi Syekh Paseban yang berjudul Syekh Paseban: Sejarah Islam, Dinamika Pemikiran Keislaman dan Gerakan Umat Muslim Sumatera Barat di Pertengahan Abad ke-19, Studi Teks dan Kontekstual Terhadap Naskah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu. Penelitian yang disponsori oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional ini memaparkan wacana keislaman yang dieksplorasi dari naskah biografi Syekh Paseban sendiri. Sebagaimana studi Filologi pada umumnya, penelitian Yerri dan Yusuf menghadirkan sebuah suntingan teks dengan pengayaan secara sepintas lalu aspek kesejarahan Surau itu pada masa lalu.  
 
Terkait dengan konteks manuskrip, dimana ruang pembicaraan mengarah pada isu-isu seputar konflik antara kelompok tradisional Islam dengan kalangan modernis, sejumlah penelitian lain penting disebut di sini. Disertasi Duski Samad (2003) yang berjudul Tradisionalisme Islam di tengah Modernisme: Kajian Tentang Kontinuitas, Perubahan dan Dinamika Tarekat di Minangkabau, pada Uiniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, secara sepintas lalu juga menyinggung mata rantai Syekh Paseban dan Imam Maulana dalam tarekat Syattariyah di Minangkabau. Kajian Samad sedikit menyentuh tentang wilayah pengikut Syekh Paseban, yakni Koto Tangah dan wilayah Padang Pinggiran. Tetapi tidak masuk kepada pembicaraan mengenai koleksi manuskrip-manuskrip yang dijadikan acuan kalangan Islam tradisional dalam menghadapi paham kelompok modernis.   

Za’im Rais pada tahun 1994 menulis tesis tentang respon kalangan Islam tradisional di Minangkabau terhadap pergerakan kalangan Islam modernis. Penelitian Rais berangkat dari konsepsi adat yang terislamkan melalui proses islamisasi struktur sosial. Pembaharuan kalangan modernis diletakkan dalam kerangka pembersihan Islam dari unsur-unsur budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang banyak diadopsi oleh kalangan tradisi. Sumber yang dijadikan analisis adalah isu-isu parsial seputar perbedaan pendapat antara kalangan tradisionalis dan modernis. Penelitian Rais menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan antara kelompok modernis dan tradisionalis secara garis besar berangkat dari persepsi masing-masing mengenai otoritas keagamaan dan bagaimana seharusnya otoritas tersebut diterima secara ideal. Pada dasarnya, dua kelompok tersebut sepakat bahwa otoritas sumber keagamaan utama adalah al-Quran dan sunnah. Kalangan modernis mempertahankan pendapat mereka bahwa al-Quran dan sunnah, selain sebagai sumber utama, juga merupakan satu-satunya otoritas dalam Islam, dan setiap muslim wajib menta’atinya. Adapun ulama menurut kalangan modernis hanya dianggap sebagai figur yang lebih memahami ketentuan-ketentuan dalam al-Quran dan sunnah. Sedangkan kalangan tradisionalis secara kontras mempertahankan pendapat sebaliknya. Ulama-ulama terdahulu dipandang sebagai sosok yang memiliki otoritas tunggal terhadap materi keagamaan yang harus diikuti oleh generasi muslim sesudahnya. 

Dalam barisan ini juga dapat diletakkan sebuah penelitian tentang perkembangan Agama Islam di Sumatera Barat pada abad ke-19 dan abad ke-20, laporan Penelitian yang disusun oleh Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago pada tahun 2006.  Pusaran konflik mulai diurai dengan pembicaraan mengenai perlawanan terhadap kolonial Belanda, Perang Paderi, differensiasi pemahaman dan pemikiran Islam, polarisasi Kaum Tua dan Kaum Muda serta isu-isu yang berhubungan dengan perlawanan rakyat pasca perang Paderi. Kenyataan-kesejarahan di atas ditengarai membentuk corak pembaharuan yang terjadi pada masa-masa sesudahnya. Ketiga penelitian terakhir tentu tidak dapat dilepaskan dari penelitian yang muncul lebih awal, dimana kajian serupa pernah ditulis sebelumnya oleh Taufik Abdullah pada tahun 1971 dari aspek pergerakan kaum Muda di Minangkabau dan Sanusi Latif pada tahun 1992, dari aspek pergerakan kaum Tua di Minangkabau. Kedua penelitian ini bersinggungan dengan penelitian-penelitian tersebut pada tataran konflik ideologi keagamaan di Minangkabau secara umum. Penekanan yang diberikan oleh kedua penelitian ini adalah pada aspek cara melihat konflik. Dalam disertasi ini, perselisihan lebih dilihat sebagai reaksi pemicu yang menciptakan kristalisasi pemahaman keagamaan tradisional sebagaimana terpantul dalam tradisi tulis yang berangkat dari kearifan lokal (local wisdom) di Surau ini.  

Surau Paseban sebagai Skriptorium Naskah Islam Klasik Minangkabau

Oleh : Ahmad Taufik Hidayat 

Penelitian lebih awal mengatakan bahwa sebagian surau di Minangkabau diduga kuat pernah difungsikan sebagai skriptorium. Pengertian skriptorium di sini merujuk pada sebuah tempat penyalinan manuskrip. 
Skriptorium adalah sebuah ruangan yang luas atau terdiri atas ruang-ruang kecil yang difungsikan untuk menyalin naskah dengan berbagai aturan ketat yang harus dipatuhi. Segala peralatan yang diperlukan di dalam skriptorium disediakan oleh seorang petugas khusus. Para petugas yang menyalin naskah tidak diperbolehkan mengubah sesuatu di dalam teks, walaupun ada kesalahan di dalam teks yang dihadapinya. Pengertian yang diajukan Rujiati merujuk pada bentuk-bentuk skriptorium pada masa lalu, terutama yang berkembang pada kurun awal abad Masehi di Yunani, dimana aktifitas penyalinan manuskrip giat dilakukan. Pastinya sulit menemukan bentuk konkrit dari model skriptorium yang disebut Rudjiati, namun bukannya tidak mungkin pula bangunan Surau di Minangkabau pernah berfungsi sebagai dimaksud. Dalam hal ini, menarik untuk ditelusuri lebih jauh guna memperkuat dugaan-dugaan di atas, melalui telaah terhadap sebuah model Surau yang terdapat di Koto Tangah, Surau Paseban. Surau ini dipilih sebagai objek karena alasan adanya koleksi manuskrip yang relatif banyak dan menjelaskan adanya kontinuitas sebuah tradisi menyangkut skriptorium. Penting diajukan di sini bagaimana sesungguhnya sejarah sebuah skriptorium institusi keagamaan tradisional lokal yang memiliki banyak koleksi manuskrip. Bersamaan dengan proses pemapanan Islam di wilayah ini pada abad ke-17 dan ke-18, Surau diduga digunakan oleh para ulama dan murid-muridnya sebagai skriptorium. Dengan demikian, di Surau-Surau-lah seharusnya para penulis menuangkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan keagamaan, terutama yang terkait dengan ajaran-ajaran mendasar Islam. Dalam konteks demikian, manuskrip adalah wujud nyata dari karya penulis dan menjadi media pembelajaran yang sangat efektif, terutama dilihat dari proses isalmisasi di Minangkabau. Berkaitan dengan ini, harus diakui bahwa sebagai institusi yang mengemban tugas pendidikan sekaligus penyebaran ajaran-ajaran keislaman, yang sumber-sumber ajarannya ditulis dengan bahasa Arab, Surau beserta orang-orang yang mengajar dan belajar di dalamnya adalah mereka yang terlebih dahulu mahir mengolah aksara, dalam hal ini aksara Arab.


Penggunaan aksara Arab dalam aktifitas tulis-menulis disebabkan terutama sekali karena masyarakat Minang termasuk dalam sebagian besar suku-suku di nusantara yang tidak memiliki sistem aksara. Kebudayaan Hindu yang meninggalkan sejumlah prasasti di wilayah ini memang dapat dijadikan bukti bahwa masyarakat Minangkabau telah tersentuh oleh budaya tulis baca sebelum Islam. Meskipun kebudayaan Hindu tetap bertahan hingga abad ke-15, tetapi tidak mewariskan budaya tulis terhadap masyarakat Minang dalam pengertian yang luas. Aksara Hindu hanya dipakai dan digunakan dalam lingkungan yang amat terbatas, yakni lingkungan elit kerajaan saja. Berbeda dengan aksara Arab yang dibawa Islam. Jauh sebelum keterlibatan ulama Surau dalam aktifitas tulis menulis, aksara ini telah diperkenalkan oleh pedagang-pedagang dan sekaligus pendakwah muslim melalui kitab suci al-Quran, kitab-kitab hadis maupun naskah-naskah keagamaan. Dan setelah dilakukan penulisan maupun penyalinan ulang oleh ulama-ulama Surau, masyarakat telah familiar dengan aksara ini, meskipun aksara tersebut dipakai untuk bahasa yang dikenal oleh masyarakat, yakni Melayu atau bahasa lokal dengan modifikasi tertentu dikarenakan ketidaksamaan ejaan antara bahasa Arab dan bahasa lokal.

Dengan pola kedekatan demikian, fungsi aksara Arab bagi masyarakat Minang menjadi demikian luas dan dinamis. Naskah-naskah yang termasuk ke dalam kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab sebagai bacaan keagamaan dalam konteks dakwah dan pendidikan Islam, termasuk dalam hal ini al-Quran, jelas dimaksudkan untuk disebarluaskan, diajarkan dan dibacakan kepada masyarakat yang tersentuh oleh dakwah Islam. Sedangkan naskah-naskah berbahasa Melayu atau berbahasa lokal tetapi menggunakan aksara Arab sebagai sistem kodenya, telah menjembatani antara kearifan lokal dengan nilai-nilai keislaman dalam karya tertulis. Karena itu, tidak mengherankan secara bertahap namun pasti, aksara Arab pada akhirnya menggeser aksara Hindu sebagai sebuah kebudayaan yang tidak sempat berkembang di wilayah ini. Kemampuan yang mereka miliki dalam hal ini turut membawa dampak bagi kesusasteraan lokal non-keagamaan yang sebelumnya—kecuali hikayat—ditradisikan melalui lisan. Sebagai konsekuensinya, tradisi lokal ini pun pada akhirnya tidak terlepas dari pengaruh Islam, tidak saja terlihat dari aspek aksara yang digunakan, tetapi juga dari perubahan karakter tokoh-tokoh yang diceriterakan, alur cerita serta penambahan materi yang sesuai dengan keinginan penulis.Kata “tradisional” pada aspek tertentu mengandung penegasan adanya transmisi literatur keagamaan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, Surau-Surau berbasis tarekat Syattariyah yang melaksanakan penulisan manuskrip-manuskrip keagamaan pada masa lalu mengemban proses ini. Fathurahman menegaskan bahwa, Tarekat Syattariyah di nusantara dengan persebaran manuskrip-manuskripnya dapat menjelaskan matarantai keilmuan dan saling keterhubungan guru dan murid komunitas ini.dalam konteks itu, demikian Fathurahman, Surau Paseban tergolong produktif melahirkan manuskrip. Pada saat sekarang jejak-jejak produktifitas Surau Paseban dalam melahirkan naskah masih terlihat. Berdasarkan pendataan di lokasi dugaan-dugaan tersebut terlihat realistis. Terdapat 29 manuskrip dengan berbagai kondisi. Jumlah ini merupakan sebagian saja dari keseluruhan naskah yang pernah ada di Surau itu. Menurut salah satu sumber dari Surau Paseban menyebut angka 40. Konon, menurut informasi sumber tersebut, banyak diantara murid ataupun kerabat yang membawa serta diantara manuskrip-manuskrip itu meskipun tidak ada izin dari Syekh Paseban sendiri. Akibat dari pelanggaran demikian, orang yang membawa manuskrip-manuskrip itu mengalami berbagai musibah. Diluar konteks magis seperti itu, keterangan ini sedikit menjelaskan harga sebuah manuskrip bagi komunitas Surau ini pada masa lalu dalam kehidupan sosial keagamaan mereka.



Adanya dugaan bahwa Surau Paseban dijadikan sebagai tempat menulis naskah boleh jadi benar. Beberapa petunjuk dari hasil pengamatan langsung, agaknya memperkuat dugaan itu. Namun batasannya tidak terlalu kaku, terutama terkait dengan tokoh, tempat dan waktu penulisan atau penyalinan naskah. Biasanya informasi mengenai hal-hal itu diperoleh dari kolofon, namun sayangnya tidak semua penyalin menyertakan kolofon dalam kitab yang mereka tulis. Dari keseluruhan koleksi manuskrip yang ditemukan di Surau Paseban, terlihat adanya perbedaan dari segi karakter huruf dan jenis kertas. Petunjuk ini sedikit mengarahkan adanya sejumlah orang yang terlibat dalam aktifitas penulisan. Menurut informasi yang berkembang di lokasi, secara garis besar koleksi yang terdapat di Surau Paseban dapat dipilah menjadi tiga bagian. Pertama, manuskrip-manuskrip yang dibawa oleh Syekh Paseban dari Surau-Surau tempat beliau mengajar. Kedua, manuskrip-manuskrip karangan Syekh Paseban sendiri ataupun salinan dari kitab-kitab terdahulu, dan ketiga, manuskrip-manuskrip yang dikarang atau disalin ulang oleh para murid, baik ketika menetap di Surau, maupun setelah tamat belajar di Surau dan mendirikan Surau di tempat masing-masing. Keterangan dari pewaris Surau dan guru-guru dari generasi sekarang hanya menyebut bahwa sebagian manuskrip-manuskrip itu dibawa oleh Syekh Paseban dari Surau Padang Gantiang dan Surau Pakandangan tempat dimana Syekh Paseban pernah menimba ilmu. Sebagian lain, menurut asumsi ini tentu ditulis oleh Syekh Paseban dan murid-muridnya di Surau Paseban sendiri. Sebagaimana maksud dari penelitian ini, keterangan atau asumsi ini akan ditinjau lebih jauh lewat telaah kodikologis.

Surau Paseban yang dijadikan sebagai studi kasus, diketahui memiliki sedikitnya 29 manuskrip dalam berbagai cabang keilmuan. Melalui pembacaan fisik naskah diperoleh kesimpulan bahwa keberadaan manuskrip di Surau merupakan bukti adanya aktifitas penyalinan dan distribusi kitab yang menjadi salah satu model transmisi ajaran-ajaran keislaman pada masa lalu, terutama memasuki awal abad XX. Sedikitnya hal itu mengindikasikan bahwa Surau tersebut pernah dijadikan sebagai skriptorium pada masa lalu. Hal itu didukung pula oleh adanya kesamaan beberapa manuskrip dari aspek tulisan dengan manuskrip yang memuat nama penyalin. Oleh karena itu, di sini dapat digagas bahwa Surau Paseban memang pernah dijadikan sebagai tempat menyalin naskah. Dari studi ini dapat pula diketahui kontinuitas dari sebuah mazhab melalui identifikasi nama-nama pengarang yang terdapat di dalam manuskrip-manuskrip tersebut.

Berdasarkan penelitian ini, Surau Paseban telah memainkan peran penting dalam proses transmisi ini dengan secara aktif memainkan peran penghubung Islam tradisional pada awal abad XX dengan masa-masa sebelumnya melalui pengadaan manuskrip dan sekaligus pengajarannya di Surau. Berangkat dari hal tersebut, koleksi manuskrip yang ada di Surau Paseban merupakan gambaran tidak langsung dari penguasaan materi-materi keagamaan yang dimiliki oleh seorang Syekh. Hasil penting lainnya dari penelitian terhadap fisik naskah adalah keterangan yang dperoleh dari cap air kertas. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa manuskrip-manuskrip yang terdapat di Surau Paseban berusia cukup tua, antara 1632-1808 M. Secara lebih spesifik, penulisan dan penyalinan manuskrip di Surau erat kaitannya dengan pewarisan sumber-sumber rujukan kalangan tradisi. 

::  Sample Naskah dalam Kitab Hâdi al-Muhtâj fi Syarhi al-Minhâj Syarah Fiqih Syekh Paseban (c) M. Yusuf.

Kitab Hâdi al-Muhtâj fi Syarhi al-Minhâj Syarah Fiqih

Oleh : Ahmad Taufik Hidayat
Isi kitab ini adalah penjelasan beberapa ketentuan fiqih yang dibahas secara bahasa dan metode pengambilan kesimpulan hukum fiqih. Diberi judul (laqab) oleh penulis (pengarang?) dengan nama di dimaksudkan di atas dengan penjelasan bahwa kitab ini ditulis sebagai upaya penulis meringkas (iqtashartu) persoalan-persoalan yang dijadikan sandaran dalam fiqih berdasarkan ketentuan, syarat-syarat serta ‘illat-‘illat hukum yang dapat menjelaskan penetapan hukum tersebut. Halaman ke-1 hingga ke-7 sepertinya bukan bagian utama dari kitab ini karena berisi berbagai coretan-coretan seperti rajah, beberapa kutipan hadits, ulasan mengenai khitan, shalat jum’at dan lain sebagainya yang tidak berhubungan dengan isi keseluruhan kitab. Selain itu pola tulisan dalam tujuh halaman pertama juga tidak sejalan dengan keseluruhan naskah dari segi jenis huruf dan bahasa yang dipakai. Tujuh halaman pertama bercampur antara bahasa Arab dan Jawi, sedangkan halaman lain pada umumnya bertuliskan bahasa Arab dengan bentuk huruf yang lebih baik. Model karakter huruf pada umumnya mendekati jenis huruf naskhi, tetapi kaedah naskhi tidak tampak diberlakukan dengan ketat dalam naskah ini.


 




::  Sample Naskah dalam Kitab Hâdi al-Muhtâj fi Syarhi al-Minhâj Syarah Fiqih Syekh Paseban (c) M. Yusuf.

Peran Surau di Minangkabau Bagi Pembentukkan Karakter Islam Tradisional

Oleh : A. Taufik Hidayat

Secara tradisional, ada dua arena pembentukkan karakter masyarakat Minangkabau, Surau dan lapau. Keduanya sangat berpengaruh besar dalam perkembangan mental masyarakat ini. 
 
Surau adalah lambang kesakralan mencerminkan sikap relijius, sopan santun serta kepatuhan kepada Allah, sedangkan lapau mencerminkan aspek keduniawiyan (profan) yang mengandung kekerasan, keberanian. Kecendrungan perkembangan anak-anak suku Minangkabau ditentukan dari banyaknya porsi waktu yang mereka habiskan sebagai bagian hidupnya sehari-hari dari tempat ini. jika seorang anak lebih banyak berada di lapau tanpa pernah mengaji di Surau, maka orang menyebut mereka parewa. Sebaliknya, jika waktu yang dihabiskan oleh seseorang lebih banyak di Surau, maka orang itu disebut urang siak atau pakiah. Karena itu, dari aspek mental keagamaan, bagi masyarakat tradisional Minang, terutama kaum pria-nya, fungsi Surau jauh lebih penting dalam membentuk karakter mereka di kemudian hari. Selain untuk memperoleh informasi keagamaan, juga dijadikan ajang bersosialisasi. Semenjak berumur 6 tahun, kaum pria telah akrab dengan lingkungan Surau.  Struktur bangunan rumah tradisional orang Minang yang dikenal dengan rumah gadang memang tidak menyediakan kamar bagi anak laki-laki. Karena itu, setelah berumur 6 tahun, anak laki-laki di Minangkabau seperti terusir dari rumah induk. Hanya pada maktu siang hari mereka boleh bertempat di rumah guna membantu keperluan sehari-hari. Sedangkan pada waktu malam, mereka harus menginap di Surau. Selain karena tidak disediakan tempat, mereka juga merasa risih untuk berkumpul dengan urang sumando (suami dari kakak/adik perempuan) dan mendapat ejekan dari orang-orang karena masih tidur dengan ibu. Dalam ucapan yang khas, lalok di bawah katiak mande. Di Surau mereka bukan sekedar menginap. Banyak aktifitas penting yang mereka lakukan di sana. Belajar silat, adat istiadat, randai, indang menyalin tambo dilaksanakan berbarengan dengan aktifitas keagamaan seperti belajar tarekat, mengaji, shalat, salawat, barzanji dan lainnya. Karakter pembentukan Islam tradisional sesungguhnya berangkat dari aktifitas seperti ini.

Demikian besar fungsi Surau bagi perkembangan generasi muda Minang pada masa lalu. Karena itu sungguh sebuah ironi, bila lembaga yang demikian strategis akhirnya mengalah pada perubahan. Surau mewadahi proses lengkap dari sebuah regenerasi masyarakat Minang, sesuatu yang sulit dicari tandingannya dalam kultur manapun di dunia ini. Segala kebutuhan yang bersifat praktis, skill, kebijaksanaan, tutur kata dan tata krama yang diperlukan orang Minang pada masa dewasanya sebagian besar diperoleh di Surau. Adat budaya yang mengacu pada konsepsi alam takambang jadi guru yang melahirkan kebijkasanaan sehingga orang Minang harus tahu di nan-ampek (kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan kato malereang), adalah bentuk kearifan yang diperoleh melalui pelatihan terpadu yang mengintegrasikan antara konsepsi ideologis dengan norma-norma budaya dan praktis lewat lembaga semacam Surau. Masyarakat tardisional yang di-back up oleh adat sangat kaya dengan prinsip-prinsip hidup semacam ini, sekedar menyebut contoh, misalnya untuk memberi i’tibar terhadap sikap tawadhu’ ada ungkapan ilmu padi, makin barisi makin marunduak.
Seiring dengan berkembangnya Islam, Surau menjadi aset yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan dan mengenalkan konsep-konsep dasar Islam. Kedatangan Syekh Burhanuddin di penghujung abad ke-17 dengan mendirikan Surau di daerah Ulakan Pariaman menjadi titik awal dari terbentuknya karakter tradisional Islam hampir di seluruh wilayah penyebaran maupun pengaruhnya. Hal itu disebabkan karena kemampuan Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Burhanuddin sangat mengakomodasi tradisi lokal. Aspek-aspek tasauf yang dikandung dalam ajaran ini—sebagaimana halnya dengan pengalama-pengalaman awal islamisasi di wilayah nusantara—memudahkan diterimanya Islam, karena memiliki kesamaan-kesamaan dengan ajaran Hindu/Budha yang telah terlebih dahulu dipraktekkan. Kedekatan emosional masyarakat Minang dengan Surau menjadi faktor kunci lestarinya pemahaman tradisional di ranah Minang dan buah dari sebuah interaksi antara dua kultur yang saling berdialog. Sudut pandang kelompok modernis terhadap Surau tradisional sesungguhnya melepaskan ikatan-ikatan kultural ini yang telah terjalin demikian lama sehingga memunculkan bentuk-bentuk Islam tradisi yang mapan di wilayah Minangkabau.
 
Ada narasi sejarah yang terpenggal dari sudut pandang seperti ini, meskipun pada tataran kebutuhan praktis yang bersifat temporal, pembaharuan yang digaungkan Islam modernis patut diapresiasi juga. Pemaksaan atas narasi besar Islam Arabia (ideologisasi Islam seolah-olah hanya tipikal Arab-lah yang benar) di gelanggang persemaian Islam kultural tentu sulit diterima, apapun alasannya. Ada sekian proses-proses penyesuaian dalam narasi kecil Islam nusantara yang tidak harus dinilai sebagai bid’ah, kafir, jumud dan seterusnya. Dengan demikian, Surau dalam kerangka demikian—meminjam sebutan yang digunakan Nurcholish Madjid untuk Pesantren di Jawa—tidak hanya identik dengan makna keislaman, namun juga mengandung keaslian (indigenous) yang berangkat dari kearifan lokal. Dengan kata lain, masyarakat Minangkabau juga memiliki kearifan tersendiri ketika Islam hadir dan mengidentifikasi diri terhadap unsur lokal. Kemampuan Tarekat Syattariyah melakukan pendekatan dengan cara sufistik terhadap membuat islamisasi yang terjadi di wilayah Minangkabau tidak mengancam fondasi dasar masyarakat Minang, bahkan memperkaya elemen-elemen kultural yang ada.


Dari perspektif ini,Taufik Abdullah melihat bahwa pembentukan tradisi—sebagai sesuatu yang dilestarikan dari masa lampau—lebih dari sekedar persoalan legitimasi, namun juga menyangkut persoalan otoritas dan kewenangan. Sesuatu yang disebutnya sebagai paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap kenyataan, yang tumbuh dari proses seleksi, dimana harapan berbenturan dengan kenyataan, dan kebebasan ekspresi harus mencari bentuk terbaik dengan keharusan-keharusan sturktural. Pada saaat itu, tradisi dapat dianggap sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang mengarahkan sifat dan corak komunitas. Dengan kata lain, menurut Abdullah, tradisi telah memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal. Mengikatkan diri kepada sumber atau person-person masa lalu adalah sebuah keharusan bagi tarekat Syattariyah bila ingin memperkenalkan Islam dalam struktur adat yang sudah terbentuk. Bukankah terbentang jarak yang sangat jauh antara wilayah Minangkabau dengan pusat Islam di Timur Tengah? Dan disepakati oleh para ahli sejarah bahwa pengenalan Islam ke wilayah ini bukan dengan wajah kekerasan. Lalu bagaimana Islam mengidentifikasi diri jika tidak dengan melakukan penyesuaian pada taraf tertentu terhadap tradisi yang diyakini secara kolektif oleh masyarakat lokal, sebagaimana ia harus mengidentifikasi diri sebagai bagian otentik dari dunia Islam meskipun terpencil ? Sebagai kelanjutan dari menguatnya posisi agama dalam struktur adat Minangkabau, maka berakibat pula pada menguatnya kedudukan ulama dan guru-guru agama. Di bawah pengelolaan ulama-ulama tradisional, Surau-Surau melanjutkan peran-peran lamanya sebagai pusat pencerdasan masyarakat dengan warna tradisional yang kental.