Jumat, 26 November 2010

Naskah Surau Paseban dalam Kajian Literatur

Oleh : Ahmad Taufik Hidayat  

Penelitian mengenai tardisi sosial intelektual Islam di Koto Tangah masih belum banyak dibicarakan. Sejumlah kepustakaan hanya menyinggung sepintas lalu mengenai Surau Paseban, Syekh Paseban maupun manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan Surau ini. Penelitian semacam ini umumnya diletakkan dalam kerangka kajian sejarah yang lebih besar, dinamika Islam di Minangkabau. Penelitian penting yang bersinggungan dengan masalah ini adalah  disertasi Oman Fathurahman yang berjudul Tarikat Syattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat, tahun 2003 pada Universitas Indonesia. Pelacakan sumber-sumber tertulis yang lahir dari kultur tarekat Syattariyah di Sumatera Barat secara tidak langsung membuka ruang pembicaraan yang berkenaan dengan Surau Paseban sebagai mata rantai dari kesinambungan tarekat ini di wilayah Sumatera Barat. Kesimpulan-kesimpulan yang dilahirkan dalam disertasi Fathurahman dalam persoalan ini jelas sangat membantu ketersediaan data mengenai kesinambungan dan referensi yang lebih awal tentang sumber-sumber yang terdapat di Surau itu.  

Kelompok Kajian Puitika Unand pada tahun 2006 telah melakukan penelitian terhadap sejumlah koleksi manuskrip di Minangkabau, dan di antaranya memuat daftar koleksi manuskrip yang terdapat di Surau Paseban maupun Manuskrip yang ditulis oleh murid Syekh Paseban, Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Sebagaimana sifat dari buku katalog, penelitian yang disponsori oleh C-Dats Tokyo ini menghasilkan penjelasan deksriptif terhadap fisik manuskrip dan informasi ringkas mengenai keberadaan maupun kepemilikannya. Sebagian besar pendataan yang dilakukan oleh M. Yusuf dan kawan-kawan terhadap 2 koleksi manuskrip yang berkaitan dengan objek penelitian jelas bersinggungan dengan disertasi ini. Tetapi dari segi pemanfaatannya sebagai objek penelitian, jelas berbeda dengan disertasi ini. Selain itu, penulis merasa perlu melakukan kritik dan pendataan ulang karena sejumlah informasi yang ditulis sebelumnya oleh M. Yusuf dkk. Banyak yang keliru, terutama dari aspek identifikasi judul dan isi atau kandungan manuskrip. 

Penelitian Pramono pada tahun yang sama tentang kiprah kepenulisan Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, murid Syekh Paseban, juga bersinggungan dengan disertasi ini. Tetapi bagan penelitian mengenai tradisi kepenulisan kitab yang dirancang Pramono berkisar pada person komunitas Surau Paseban, dan tidak menjelaskan aspek-aspek yang berkaitan dengan dinamika tradisi sosial intelektual di Koto Tangah secara komprehensif. Pembahasan ke arah itu hanya diletakkan sebagai latar belakang ketokohan murid dari Syekh Paseban. Masih dalam alur yang sama, pada tahun 2007 sebuah laporan penelitian muncul kembali di lingkungan Universitas Andalas. Yerri Satria Putra dan M. Yusuf, mengadakan penelitian Filologi tentang naskah biografi Syekh Paseban yang berjudul Syekh Paseban: Sejarah Islam, Dinamika Pemikiran Keislaman dan Gerakan Umat Muslim Sumatera Barat di Pertengahan Abad ke-19, Studi Teks dan Kontekstual Terhadap Naskah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu. Penelitian yang disponsori oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional ini memaparkan wacana keislaman yang dieksplorasi dari naskah biografi Syekh Paseban sendiri. Sebagaimana studi Filologi pada umumnya, penelitian Yerri dan Yusuf menghadirkan sebuah suntingan teks dengan pengayaan secara sepintas lalu aspek kesejarahan Surau itu pada masa lalu.  
 
Terkait dengan konteks manuskrip, dimana ruang pembicaraan mengarah pada isu-isu seputar konflik antara kelompok tradisional Islam dengan kalangan modernis, sejumlah penelitian lain penting disebut di sini. Disertasi Duski Samad (2003) yang berjudul Tradisionalisme Islam di tengah Modernisme: Kajian Tentang Kontinuitas, Perubahan dan Dinamika Tarekat di Minangkabau, pada Uiniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, secara sepintas lalu juga menyinggung mata rantai Syekh Paseban dan Imam Maulana dalam tarekat Syattariyah di Minangkabau. Kajian Samad sedikit menyentuh tentang wilayah pengikut Syekh Paseban, yakni Koto Tangah dan wilayah Padang Pinggiran. Tetapi tidak masuk kepada pembicaraan mengenai koleksi manuskrip-manuskrip yang dijadikan acuan kalangan Islam tradisional dalam menghadapi paham kelompok modernis.   

Za’im Rais pada tahun 1994 menulis tesis tentang respon kalangan Islam tradisional di Minangkabau terhadap pergerakan kalangan Islam modernis. Penelitian Rais berangkat dari konsepsi adat yang terislamkan melalui proses islamisasi struktur sosial. Pembaharuan kalangan modernis diletakkan dalam kerangka pembersihan Islam dari unsur-unsur budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang banyak diadopsi oleh kalangan tradisi. Sumber yang dijadikan analisis adalah isu-isu parsial seputar perbedaan pendapat antara kalangan tradisionalis dan modernis. Penelitian Rais menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan antara kelompok modernis dan tradisionalis secara garis besar berangkat dari persepsi masing-masing mengenai otoritas keagamaan dan bagaimana seharusnya otoritas tersebut diterima secara ideal. Pada dasarnya, dua kelompok tersebut sepakat bahwa otoritas sumber keagamaan utama adalah al-Quran dan sunnah. Kalangan modernis mempertahankan pendapat mereka bahwa al-Quran dan sunnah, selain sebagai sumber utama, juga merupakan satu-satunya otoritas dalam Islam, dan setiap muslim wajib menta’atinya. Adapun ulama menurut kalangan modernis hanya dianggap sebagai figur yang lebih memahami ketentuan-ketentuan dalam al-Quran dan sunnah. Sedangkan kalangan tradisionalis secara kontras mempertahankan pendapat sebaliknya. Ulama-ulama terdahulu dipandang sebagai sosok yang memiliki otoritas tunggal terhadap materi keagamaan yang harus diikuti oleh generasi muslim sesudahnya. 

Dalam barisan ini juga dapat diletakkan sebuah penelitian tentang perkembangan Agama Islam di Sumatera Barat pada abad ke-19 dan abad ke-20, laporan Penelitian yang disusun oleh Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago pada tahun 2006.  Pusaran konflik mulai diurai dengan pembicaraan mengenai perlawanan terhadap kolonial Belanda, Perang Paderi, differensiasi pemahaman dan pemikiran Islam, polarisasi Kaum Tua dan Kaum Muda serta isu-isu yang berhubungan dengan perlawanan rakyat pasca perang Paderi. Kenyataan-kesejarahan di atas ditengarai membentuk corak pembaharuan yang terjadi pada masa-masa sesudahnya. Ketiga penelitian terakhir tentu tidak dapat dilepaskan dari penelitian yang muncul lebih awal, dimana kajian serupa pernah ditulis sebelumnya oleh Taufik Abdullah pada tahun 1971 dari aspek pergerakan kaum Muda di Minangkabau dan Sanusi Latif pada tahun 1992, dari aspek pergerakan kaum Tua di Minangkabau. Kedua penelitian ini bersinggungan dengan penelitian-penelitian tersebut pada tataran konflik ideologi keagamaan di Minangkabau secara umum. Penekanan yang diberikan oleh kedua penelitian ini adalah pada aspek cara melihat konflik. Dalam disertasi ini, perselisihan lebih dilihat sebagai reaksi pemicu yang menciptakan kristalisasi pemahaman keagamaan tradisional sebagaimana terpantul dalam tradisi tulis yang berangkat dari kearifan lokal (local wisdom) di Surau ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar